BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada pria dan wanita. Selama 50 tahun terakhir terdapat suatu peningkatan insidensi paru – paru yang mengejutkan. America Cancer Society memperkirakan bahwa terdapat 1.500.000 kasua baru dalam tahun 1987 dan 136.000 meningggal. Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 1993 dilaporkan 173.000/tahun, di inggris 40.000/tahun, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanhyak.
Di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 1998 tumor paru menduduki urutan ke 3 sesudah kanker payudara dan leher rahim. Karena sistem pencatatan kita yang belum baik, prevalensi pastinya belum diketahui tetapi klinik tumor dan paru di rumah sakit merasakan benar peningkatannya. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65 %), life time risk 1:13 dan pada wanita 1:20. Pada pria lebih besar prevalensinya disebabkan faktor merokok yang lebih banyak pada pria. Insiden puncak kanker paru terjadi antara usia 55 – 65 tahun.
Kelompok akan membahas Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru dengan kasus pada tuan J. Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang efektif dana mampu ikut serta dalam upaya penurunan angka insiden kanker paru melalui upaya preventif, promotof, kuratif dan rehabilitatif.
B. TUJUAN PENULISAN.
Mahasiswa mampu untuk memahami pengertian, etiologi, klasifikasi, stadium, pathway, patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan pada klien dengan kanker paru.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS.
A. PENGERTIAN.
Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).
Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel – sel yang mengalami proliferasi dalam paru (Underwood, Patologi, 2000).
B. ETIOLOGI.
Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang agaknya bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :
1. Merokok.
Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang defenitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan tumor.
2. Iradiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi operatif.
3. Kanker paru akibat kerja.
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel (pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru – paru hematite) dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami peningkatan insiden.
4. Polusi udara.
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota.
( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).
5. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen.
b. Tumor suppressor gene.
c. Gene encoding enzyme.
Teori Onkogenesis.
Terjadinya kanker paru didasari oleh tampilnya gen suppresor tumor dalam genom (onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan (delesi/del) atau penyisipan (insersi/ inS) sebagian susunan pasangan basanya, tampilnya gen erbB1 dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel untuk mati secara alamiah- programmed cell death). Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat pertumbuhan yang autonom. Dengan demikian kanker merupakan penyakit genetic yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitarnya.
Predisposisi Gen supresor tumor
Inisitor
Delesi/ insersi
Promotor
Tumor/ autonomi
Progresor
Ekspansi/ metastasis
6. Diet.
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001).
C. KLASIFIKASI.
Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru – paru (1977) :
1. Karsinoma Bronkogenik.
a. Karsinoma epidermoid (skuamosa).
Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Terletak sentral sekitar hilus, dan menonjol kedalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada dan mediastinum.
b. Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).
Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki.Tumor ini timbul dari sel – sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel bronkus. Terbentuk dari sel – sel kecil dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ – organ distal.
c. Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang – kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut local pada paru – paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi seringkali meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan secara klinis tetap tidak menunjukkan gejala – gejala sampai terjadinya metastasis yang jauh.
d. Karsinoma sel besar.
Merupakan sel – sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini cenderung untuk timbul pada jaringan paru - paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat – tempat yang jauh.
e. Gabungan adenokarsinoma dan epidermoid.
f. Lain – lain.
1). Tumor karsinoid (adenoma bronkus).
2). Tumor kelenjar bronchial.
3). Tumor papilaris dari epitel permukaan.
4). Tumor campuran dan Karsinosarkoma
5). Sarkoma
6). Tak terklasifikasi.
7). Mesotelioma.
8). Melanoma.
(Price, Patofisiologi, 1995).
D. MANIFESTASI KLINIS.
1. Gejala awal.
Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk
Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
b. Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang mengalami ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
E. STADIUM.
Tabel Sistem Stadium TNM untuk kanker Paru – paru: 1986 American Joint Committee on Cancer.
Stadium IV Setiap T, setiap N,M1
Tidak terbukti adanya tumor primer
Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus tetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi
Karsinoma in situ
Tumor dengan diameter ≤ 3 cm dikelilingi paru – paru atau pleura viseralis yang normal.
Tumor dengan diameter 3 cm atau dalam setiap ukuran dimana sudah menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan atelektasis yang meluas ke hilus; harus berjarak 2 cm distal dari karina.
Tumor dalam setiap ukuran dengan perluasan langsung pada dinding dada, diafragma, pleura mediastinalis, atau pericardium tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, atau korpus vertebra; atau dalam jarak 2 cm dari karina tetapi tidak melibat karina.
Tumor dalam setiap ukuran yang sudah menyerang mediastinum atau mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, koepua vertebra, atau karina; atau adanya efusi pleura yang maligna.
Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar limfe regional.
Metastasis pada peribronkial dan/ atau kelenjar – kelenjar hilus ipsilateral.
Metastasis pada mediastinal ipsi lateral atau kelenjar limfe subkarina.
Metastasis pada mediastinal atau kelenjar – kelenjar limfe hilus kontralateral; kelenjar – kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.
Tidak diketahui adanya metastasis jauh
Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu (seperti otak).
Sputum mengandung sel – sel ganas tetapi tidak dapat dibuktikan adanya tumor primer atau metastasis.
Karsinoma in situ.
Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 tanpa adanya bukti metastasis pada kelenjar limfe regional atau tempat yang jauh.
Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 dan terdapat bukti adanya metastasis pada kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral.
Tumor termasuk klasifikasi T3 dengan atau tanpa bukti metastasis pada kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral; tidak ada metastasis jauh.
Setiap tumor dengan metastasis pada kelenjar limfe hilus tau mediastinal kontralateral, atau pada kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular; atau setiap tumor yang termasuk klasifikasi T4 dengan atau tanpa metastasis kelenjar limfe regional; tidak ada metastasis jauh.
Setiap tumor dengan metastsis jauh.
Sumber: (Price, Patofisiologi, 1995).
F. PATOFISIOLOGI.
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
1. Radiologi.
a. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada kanker paru).
3. Histopatologi.
a. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran <>b. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
c. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
d. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan, 2000)
1. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain, untuk mengankat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru – paru yang tidak terkena kanker.
1. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsy.
2. Pneumonektomi pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa diangkat.
3. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau bula emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
4. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
5. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru – paru berbentuk baji (potongan es).
6. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
2. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.
3. Kemoterafi.
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.
I. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KANKER PARU.
1. PENGKAJIAN.
a. Preoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan,1999).
1). Aktivitas/ istirahat.
Gejala : Kelemahan, ketidakmampuan mempertahankan kebiasaan rutin,
dispnea karena aktivitas.
Tanda : Kelesuan( biasanya tahap lanjut).
2). Sirkulasi.
Gejala : JVD (obstruksi vana kava).
Bunyi jantung : gesekan pericardial (menunjukkan efusi).
Takikardi/ disritmia.
Jari tabuh.
3). Integritas ego.
Gejala : Perasaan taku. Takut hasil pembedahan
Menolak kondisi yang berat/ potensi keganasan.
Tanda : Kegelisahan, insomnia, pertanyaan yang diulang – ulang.
4). Eliminasi.
Gejala : Diare yang hilang timbul (karsinoma sel kecil).
Peningkatan frekuensi/ jumlah urine (ketidakseimbangan hormonal, tumor epidermoid)
5). Makanan/ cairan.
Gejala : Penurunan berat badan, nafsu makan buruk, penurunan masukan
makanan.
Kesulitan menelan
Haus/ peningkatan masukan cairan.
Tanda : Kurus, atau penampilan kurang berbobot (tahap lanjut)
Edema wajah/ leher, dada punggung (obstruksi vena kava), edema wajah/ periorbital (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
Glukosa dalam urine (ketidakseimbangan hormonal, tumor epidermoid).
6). Nyeri/ kenyamanan.
Gejala : Nyeri dada (tidak biasanya ada pada tahap dini dan tidak selalu
pada tahap lanjut) dimana dapat/ tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Nyeri bahu/ tangan (khususnya pada sel besar atau adenokarsinoma)
Nyeri abdomen hilang timbul.
7). Pernafasan.
Gejala : Batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya dan atau
produksi sputum.
Nafas pendek
Pekerja yang terpajan polutan, debu industri
Serak, paralysis pita suara.
Riwayat merokok
Tanda : Dispnea, meningkat dengan kerja
Peningkatan fremitus taktil (menunjukkan konsolidasi)
Krekels/ mengi pada inspirasi atau ekspirasi (gangguan aliran udara), krekels/ mengi menetap; pentimpangan trakea ( area yang mengalami lesi).
Hemoptisis.
8). Keamanan.
Tanda : Demam mungkin ada (sel besar atau karsinoma)
Kemerahan, kulit pucat (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
9). Seksualitas.
Tanda : Ginekomastia (perubahan hormone neoplastik, karsinoma sel
besar)
Amenorea/ impotent (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
10). Penyuluhan.
Gejala : Faktor resiko keluarga, kanker(khususnya paru), tuberculosis
Kegagalan untuk membaik.
b. Pascaoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).
- Karakteristik dan kedalaman pernafasan dan warna kulit pasien.
- Frekuensi dan irama jantung.
- Pemeriksaan laboratorium yang terkait (GDA. Elektolit serum, Hb dan Ht).
- Pemantauan tekanan vena sentral.
- Status nutrisi.
- Status mobilisasi ekstremitas khususnya ekstremitas atas di sisi yang di operasi.
- Kondisi dan karakteristik water seal drainase.
1). Aktivitas atau istirahat.
Gejala : Perubahan aktivitas, frekuensi tidur berkurang.
2). Sirkulasi.
Tanda : denyut nadi cepat, tekanan darah tinggi.
3). Eliminasi.
Gejala : menurunnya frekuensi eliminasi BAB
Tanda : Kateter urinarius terpasang/ tidak, karakteristik urine
Bisng usus, samara atau jelas.
4). Makanan dan cairan.
Gejala : Mual atau muntah
5). Neurosensori.
Gejala : Gangguan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anastesi.
6). Nyeri dan ketidaknyamanan.
Gejala : Keluhan nyeri, karakteristik nyeri
Nyeri, ketidaknyamanan dari berbagai sumber misalnya insisi
Atau efek – efek anastesi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA KEPERAWATAN.
a. Preoperasi (Gale, Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, 2000, dan Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).
1). Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan :
Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.
Intervensi :
a) Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan nafas.
b) Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan, misalnya krekels, mengi.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta tumor.
c) Kaji adanmya sianosis
Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari “organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling indikatif.
d) Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
e) Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.
2). Bersihan jalan nafas tidak efektif.
Dapat dihubungkan :
- Kehilangan fungsi silia jalan nafas
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.
- Meningkatnya tahanan jalan nafas
Kriteria hasil :
- Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersiahn jalan nafas.
Intervensi :
a) Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya bernafas.
b) Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan sekret dalam seksi lobus.
c) Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan karakteristik sputum.
Rasional : Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi gagal perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, adan/ atau puulen.
d) Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
Rasional : Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein dipengaruhi.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.
Rasional : Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan perubahan dosis/ pilihan obat.
3). Ketakutan/Anxietas.
Dapat dihubungkan :
- Krisis situasi
- Ancaman untuk/ perubahan status kesehatan, takut mati.
- Faktor psikologis.
Kriteria hasil :
- Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
- Mengakui dan mendiskusikan takut.
- Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatangani.
- Menunjukkan pemecahan masalah dan pengunaan sumber efektif.
Intervensi :
a) Observasi peningkatan gelisah, emosi labil.
Rasional : Memburuknya penyakit dapat menyebabkan atau meningkatkan ansietas.
b) Pertahankan lingkungan tenang dengan sedikit rangsangan.
Rasional : Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan penghematan energi.
c) Tunjukkan/ Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan imajinasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk pasien menangani ansietasnya sendiri dan merasa terkontrol.
d) Identifikasi perspsi klien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.
Rasional : Membantu pengenalan ansietas/ takut dan mengidentifikasi tindakan yang dapat membantu untuk individu.
e) Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaan.
Rasional : Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah terhadap identifikasi dan ekspresi. Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.
4). Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.
Dapat dihubungkan :
- Kurang informasi.
- Kesalahan interpretasi informasi.
- Kurang mengingat.
Kriteria hasil :
- Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
- Menggambarkan/ menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
- Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medik.
- Membuat perencanaan untuk perawatan lanjut.
Intervensi :
a) Dorong belajar untuk memenuhi kebutuhan pasien. Beriak informasi dalam cara yang jelas/ ringkas.
Rasional : Sembuh dari gangguan gagal paru dapat sangat menghambat lingkup perhatian pasien, konsentrasi dan energi untuk penerimaan informasi/ tugas baru.
b) Berikan informasi verbal dan tertulis tentang obat
Rasional : Pemberian instruksi penggunaan obat yang aman memmampukan pasien untuk mengikuti dengan tepat program pengobatan.
c) Kaji konseling nutrisi tentang rencana makan; kebutuhan makanan kalori tinggi.
Rasional : Pasien dengan masalah pernafasan berat biasanya mengalami penurunan berat badan dan anoreksia sehingga memerlukan peningkatan nutrisi untuk menyembuhan.
d) Berikan pedoman untuk aktivitas.
Rasional : Pasien harus menghindari untuk terlalu lelah dan mengimbangi periode istirahatdan aktivitas untuk meningkatkan regangan/ stamina dan mencegah konsumsi/ kebutuhan oksigen berlebihan.
b. Pascaoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).
1). Kerusakan pertukaran gas.
Dapat dihubungkan :
- Pengangkatan jaringan paru
- Gangguan suplai oksigen
- Penurunan kapasitas pembawa oksigen darah (kehilangan darah).
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
- Bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi :
a) Catat frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernafasan. Observasi penggunaan otot bantu, nafas bibir, perubahan kulit/ membran mukosa.
Rasional : Pernafasan meningkat sebagai akibat nyeri atau sebagai mekanisme kompensasi awal terhadap hilangnya jaringan paru.
b) Auskultasi paru untuk gerakamn udara dan bunyi nafas tak normal.
Rasional : Konsolidasi dan kurangnya gerakan udara pada sisi yang dioperasi normal pada pasien pneumonoktomi. Namun, pasien lubektomi harus menunjukkan aliran udara normal pada lobus yang masih ada.
c) Pertahankan kepatenan jalan nafas pasien dengan memberikan posisi, penghisapan, dan penggunaan alat
Rasional : Obstruksi jalan nafas mempengaruhi ventilasi, menggangu pertukaran gas.
d) Ubah posisi dengan sering, letakkan pasien pada posisi duduk juga telentang sampai posisi miring.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru dan drainase sekret.
e) Dorong/ bantu dengan latihan nafas dalam dan nafas bibir dengan tepat.
Rasional : Meningkatkan ventilasi maksimal dan oksigenasi dan menurunkan/ mencegah atelektasis.
2). Bersihan jalan nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan :
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret
- Keterbatasan gerakan dada/ nyeri.
- Kelemahan/ kelelahan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan patensi jalan nafas, dengan cairan sekret mudah dikeluarkan, bunyi nafas jelas, dan pernafasan tak bising.
Intervensi :
a) Auskultasi dada untuk karakteristik bunyi nafas dan adanya sekret.
Rasional : Pernafasan bising, ronki, dan mengi menunjukkan tertahannya sekret dan/ atau obstruiksi jalan nafas.
b) Bantu pasien dengan/ instruksikan untuk nafas dalam efektif dan batuk dengan posisi duduk tinggi dan menekan daerah insisi.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal dan penekanan menmguatkan upaya batuk untuk memobilisasi dan membuang sekret. Penekanan dilakukan oleh perawat.
c) Observasi jumlah dan karakter sputum/ aspirasi sekret.
Rasional : Peningkatan jumlah sekret tak berwarna / berair awalnya normal dan harus menurun sesuai kemajuan penyembuhan.
d) Dorong masukan cairan per oral (sedikitnya 2500 ml/hari) dalam toleransi jantung.
Rasional : Hidrasi adekuat untuk mempertahankan sekret hilang/ peningkatan pengeluaran.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, dan/ atau analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Menghilangkan spasme bronkus untuk memperbaiki aliran udara, mengencerkan dan menurunkan viskositas sekret.
3). Nyeri (akut).
Dapat dihubungkan :
- Insisi bedah, trauma jaringan, dan gangguan saraf internal.
- Adanya selang dada.
- Invasi kanker ke pleura, dinding dada
Kriteria hasil :
- Melaporkan neyri hilang/ terkontrol.
- Tampak rileks dan tidur/ istirahat dengan baik.
- Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/ dibutuhkan.
Intervensi :
a) Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri. Buat rentang intensitas pada skala 0 – 10.
Rasional : Membantu dalam evaluasi gejala nyeri karena kanker. Penggunaan skala rentang membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan alat untuk evaluasi keefktifan analgesic, meningkatkan control nyeri.
b) Kaji pernyataan verbal dan non-verbal nyeri pasien.
Rasional : Ketidaklsesuaian antar petunjuk verbal/ non verbal dapat memberikan petunjuk derajat nyeri, kebutuhan/ keefketifan intervensi.
c) Catat kemungkinan penyebab nyeri patofisologi dan psikologi.
Rasional : Insisi posterolateral lebih tidak nyaman untuk pasien dari pada insisi anterolateral. Selain itu takut, distress, ansietas dan kehilangan sesuai diagnosa kanker dapat mengganggu kemampuan mengatasinya.
d) Dorong menyatakan perasaan tentangnyeri.
Rasional : Takut/ masalah dapat meningkatkan tegangan otot dan menurunkan ambang persepsi nyeri.
e) Berikan tindakan kenyamanan. Dorong dan ajarkan penggunaan teknik relaksasi
Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian.
4). Anxietas.
Dapat dihubungkan:
- Krisis situasi
- Ancaman/ perubahan status kesehatan
- Adanya ancman kematian.
Kriteria hasil :
- Mengakui dan mendiskusikan takut/ masalah
- Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan penampilan wajah tampak rileks/ istirahat
- Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
Intervensi :
a) Evaluasi tingkat pemahaman pasien/ orang terdekat tentang diagnosa.
Rasional : Pasien dan orang terdekat mendengar dan mengasimilasi informasi baru yang meliputi perubahan ada gambaran diri dan pola hidup. Pemahaman persepsi ini melibatkan susunan tekanan perawatan individu dan memberikan informasi yang perlu untuk memilih intervensi yang tepat.
b) Akui rasa takut/ masalah pasien dan dorong mengekspresikan perasaan
Rasional : Dukungan memampukan pasien mulai membuka atau menerima kenyataan kanker dan pengobatannya.
c) Terima penyangkalan pasien tetapi jangan dikuatkan.
Rasional : Bila penyangkalan ekstrem atau ansiatas mempengaruhi kemajuan penyembuhan, menghadapi isu pasien perlu dijelaskan dan emebuka cara penyelesaiannya.
d) Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur. Yakinkan bahwa pasien dan pemberi perawatan mempunyai pemahaman yang sama.
Rasional : Membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan persepsi/ salah interpretasi terhadap informasi..
e) Libatkan pasien/ orang terdekat dalam perencanaan perawatan. Berikan waktu untuk menyiapkan peristiwa/ pengobatan.
Rasional : Dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan kontrol/ kemandirian pada pasien yang merasa tek berdaya dalam menerima pengobatan dan diagnosa.
f) Berikan kenyamanan fiik pasien.
Rasional : Ini sulit untuk menerima dengan isu emosi bila pengalaman ekstrem/ ketidaknyamanan fisik menetap.
5). Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.
Dapat dihubungkan :
- Kurang atau tidak mengenal informasi/ sumber
- Salah interperatasi informasi.
- Kurang mengingat
Kriteria hasil :
- Menyatakan pemahaman seluk beluk diagnosa, program pengobatan.
- Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alas an tindakan tersebut.
- Berpartisipasi dalam proses belajar.
- Melakukan perubahan pola hidup.
Intervensi :
a) Diskusikan diagnosa, rencana/ terapi sasat ini dan hasil yang diharapkan.
Rasional : Memberikan informasi khusus individu, membuat pengetahuan untuk belajar lanjut tentang manajemen di rumah. Radiasi dan kemoterapi dapat menyertai intervensi bedah dan informasi penting untuk memampukan pasien/ orang terdekat untuk membuat keputusan berdasarkan informasi.
b) Kuatkan penjelasan ahli bedah tentang prosedur pembedahan dengan memberikan diagram yang tepat. Masukkan informasi ini dalam diskusi tentang harapan jangka pendek/ panjang dari penyembuhan.
Rasional : Lamanya rehabilitasi dan prognosis tergantung pada tipe pembedahan, kondisi preoperasi, dan lamanya/ derajat komplikasi.
c) Diskusikan perlunya perencanaan untuk mengevaluasi perawatan saat pulang.
Rasional : Pengkajian evaluasi status pernafasan dan kesehatan umum penting sekali untuk meyakinkan penyembuhan optimal. Juga memberikan kesempatan untuk merujuk masalah/ pertanyaan pada waktu yang sedikit stres.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn J usia 45 tahun, alamat Rowosari, Gubug Grobogan, status menikah dan mempunyai anak 4 orang anak, saat ini sedang dirawat di C3 RSDK. Saat ini keluhan yang dirasakan adalah sesak nafas. Mempunyai riwayat merokok 10 tahun yang lalu dimana frekunesinya 15 batang perhari. Saat ini dirawat sudah 17 hari. Pasien merasa tidak berdaya jika sesak nafasnya bertambah berat. Pasien merasa tidak nyaman dan sesak nafas bila berbaring. Hasil pemeriksaan laboratorium : Hb 12,6 gr%, Ht 34,7 %, leukosit 4400 /ml, trombosit 191000/ml, kreatinin 2,40 mg/dl.
Pasien tersebut mendapatkan terapi : infuse RL 12 tts/ menit, Aminophilin 3 x 500 mg dan injeksi Dexamethasone 3 x 2 ampul.
Diagnosa medis : Ca Paru Dextra.
A. PENGKAJIAN.
Pada kasus di dapatkan data :
Identitas : nama Tn.J, jenis kelamin laki – laki, alamat Rowosari, Gubug grobogan, Status menikah, Diagnosa medik Ca Paru Dextra.
Riwayat kesehatan : Mempunyai riwayat merokok 10 tahun yang lalu dimana frekuensinya 15 batang perhari, Sudah dirawat selama 17 hari; Keluhan : sesak nafas, tidak nyaman dan sesak nafas bila berbaring.
Laboratorium : Hb 12,6 gr%, Ht 34,7 %, leulosit 4400 /ml, trombosit, 191000 /ml, kreatinin 2,40 mg/dl
Pengobatan : infuse RL 12 tts/mnt, Aminophillin 3 x 500 mg, dan injeksi Dexamethason 3 x 2 ampul.
Penatalaksanaan : direncanakan pembedahan dengan Anesthesi General umum.
B. ANALISA DATA.
Dari keluhan yang didapat maka diagnosa yang dapat timbul yaitu :
1. Kerusakan pertukaran gas
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA KEPERAWATAN.
1. Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan :
Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.
Intervensi :
a) Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan nafas.
b) Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan, misalnya krekels, mengi.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta tumor.
c) Kaji adanmya sianosis
Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari “organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling indikatif.
d) Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
e) Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif.
Dapat dihubungkan :
- Kehilangan fungsi silia jalan nafas
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.
- Meningkatnya tahanan jalan nafas
Kriteria hasil :
- Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersihan jalan nafas.
Intervensi :
a) Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya bernafas.
b) Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan sekret dalam seksi lobus.
c) Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan karakteristik sputum.
Rasional : Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi gagal perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, adan/ atau puulen.
d) Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
Rasional : Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein dipengaruhi.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.
Rasional : Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan perubahan dosis/ pilihan obat.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus masih terdapat data – data pengkajian, baik berupa identitas klien, riwayat kesehatan, dan laboratorium yang kurang jika kita kaitkan dengan tinjauan teori.
1. Secara ilmu fisiologi dan patofisiologi, proses penyakitnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Dari riwayat merokok Tn. J yang dapat dikatakan sebagai faktor resiko dari Ca Paru. Dari etiologi tau faktor resiko tersebut yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Dari mekanisme diatas dpat menyebakan klein mengeluh sesak nafas dan nyeri. Jika klien merasa tidak nyaman dan sesak nafas bila berbaring, karten pada waktu berbaring pengembangan paru tidak maximal.
2. Dilihat secara histologi, perkembangan yang terjadi pada paru – paru kanan tuan J dapat dikategorikan dalam jenis karsinoma sel skuamosa yang mempunyai hubungan dekat dengan faktor resiko merokok. Tetapi untuk diagnosa yang lebih lanjut (oleh dokter)atau memastikan jenis karsinoma, maka diperlukan pemeriksaan – pemeriksaan lainnya seperti laboratorium, radiology, histopatologi, dan pencitraan.
3. Pemeriksaan diagnostik tambahan yang dapat dilakukan adalah : pemeriksaan laboratorium (sputum, pleural, atau nodus limfe, pemeriksaan fungsi paru dan GDA, tes kulit, jumlah absolute limfosit), pemeriksaan histopatologi, dan pencitraan.
a. Radiologi.
- Foto thorax.
Untuk mengetahui adanya pembesaran massa atau tidak dan letak pembesaran tersebut.
- CT Scan.
Dapat memberikan bantuan lebih lanjut dalam membedakan lesi – lesi yang dicurigai.
- Bronkoskopi.
Bronkoskopi yang sertai dengan biopsi untuk mendiagnosis jenis karsinoma yang terjadi.
- Biopsi kelenjar skalenus.
Cara terbaik untuk mendiagnosis kanker yang tidak terjangkau oleh bronkoskopi.
b. Pemeriksaan Sitologi.
Sputum rutin, dikerjakan terutama bila ada keluhan seperti batuk.
Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil yang berarti karena tergantung pada :
- Letak tumor terhadap bronkus.
- Jenis tumor.
- Teknik mengeluarkan sputum.
- Jumlah sputum yang diperiksa (dianjurkan pemeriksaan 3 – 5 hari berturut – turut).
- Waktu pemeriksaan sputum.
Pada kanker paru yang letaknya sentral pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai 67 – 85 % pada karsinoma sel skuamosa. Sehingga untuk Tn. J dapat dilakukan sitologi ini untuk mamastikan apakah termasuk dalam kanker paru sel skuamosa.
PEMERIKSAAN TUAN J HARGA NORMAL
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Leukosit
Trombosit
Kreatinin 12,6 gr%
34,7 %
4400 ml
191000 /ml
2,40 mg/ml 13 – 18 gr%
42 – 52 %
4500 – 10800 ml
150000 – 300000 /ml
0,5 – 1,4 mg/ml
Pada Tn. J ditemukan hasil laboratorium Hb, Ht, Leukosit, Trombosit mmasih dalam batas normal dan belum ada perubahan yang berarti tetapi biasanya pada keadaan lebih lanjut dapat terjadi anemia dan polisitemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari metastase kanker paru keorgan lain seperti hati, limpa dan tulang belakang, yang berkaitan dengan proses pembentukan dari sel darah merah. Sedangkan polisitemia yang dapat berhubungan dengan merokok cigarette karena kontak dengan karbon monoksida kronik mempertinggi eritrositosis. Hemoglobin diproduksi dan difagositosis terutama di hati, limpa dan sumsum tulang. Dimana pada salah satu proses yaitu sisa hem direduksi menjadi menjadi karbon monoksida (CO) dan beliverdin. CO ini diangkut dalam bentuk karboksi hemoglobin, dan dikeluarkan melalui paru. Jika paru terkena kanker maka proses ini akan mengalami gangguan, dan CO terus dibentuk dan tidak dikeluarkan akan mempertinggi eritrositosis.
Hasil laboratorium kreatinin meningkat, ini menunjukkan bahwa Tn. J fungsi ginjalnya sudah mulai terganggu. Ini disebabkan ekstra torak. Penyebaran ekstra torak tergantung dari tempat metastase. Struktur yang sering terkena adalah kelenjar getah bening skalenus (terutama pada tumor paru – paru), adrenal (50%), hati (30%), otak (20%), tulang (20%), dan ginjal (15%).
• Nilai tersebut 12,6 gr % ( N: 13-14 gr %)
Berarti turun 0,4 % perlu dari observasi, bila penurunan tersebut terjadi secara signifikan maka perlu diberikan transfusi darah. 1 Olef (250 cc menaikkan 0,5 mg tersebut ).
• Nilai tersebut 34,7 % Normal
Terjadi penurunan komponen sel-sel darah merah dalam plasma hal ini dikarenakan sel-sel cancer pada Tn.J akan merusak sel darah merah( hemolisis ).
• Leukosit 4400/ ml ( N : 4000-10000 / ml )
Pada TN.J belum terjadi penurunan, tetapi biasanya pada Ca paru akan terjadi Leukopenia karena fungsi sel darah putih akan dirusak oleh sel-sel cancer.
• Trombosit 191000 / ml ( N : 150-450 ribu )
Trombosit : Normal tetapi perlu diobservasi adanya penurunan trombosit. Karena pada Ca paru stadium lanjut akan terjadi pendarahan / hemoptomesis.
• Kreatinin 2 mg / dl ( N : 0,3-1,1 mg / dl )
Pada Tn.J terjadi kenaikan kreatinin yang cukup signifikan, yang mengindikasikan kerusakan ginjal. Ini bisa disebabkan karena ginjal diperdarahi oleh arteri renalis. Arteri ini menyalurkan O2 dari paru-paru, pada Ca paru-paru O2 turun sehingga darah yang dibawa oleh arteri renalis miskin O2 sehingga akan merusak ginjal dan kemampuan filtrasi pada glomerulus akan mengalami penurunan yang menyebabkan kreatinin naik karena banyaknya lolos waktu yang di filtrasi.
4. Jika dilihat secara farmakologi, pengobatan yang diberikan pada Tn. J masih kurang tepat. Jika di kaitkan denga keluhan pasien memang obat yang diberikan dapat meringankan gejala saja, tetapi khusus untuk penyakitnya (Ca Paru) belum dapat menyembuhkannya. Untuk kanker paru pengobatannya lebih bersifat pembedahan. Chemotherapi juga sangat penting untuk diberikan sebagai pembunuh sel-sel kanker dosis pemberian disesuaikan dengan derajat keganasan Ca pada TN. J
Aminophillin : Tn. J mendapat terapi Aminophillin 3 X 500 mg. Diberikan aminophillin karena merupakan obat bronkodilator yang membebaskan obstruksi jalan nafas seperti pada asma kronis dan mengurangi gejala dari penyakit kronik, juga merupakan salah satu derivate Xanthine yang mempunyai kegunaan sebagai perangsang pernafasan dengan relaksasi otot polos bronkus. Alangkah baiknya Aminoppilin dimasukan secara perdrip.Hal ini dimaksudkan supaya kerja Aminoppilin sebagai bronkodilator lebih cepat dibandingkan peroral [kasus], karena pada kasus Tn. J mengalami sesak nafas berat, baru setelah sesak nafasnya berkurang baru bisa diberikan peroral. Perlu ditambahkan data BB dan TB untuk menentukan dosis obat yang diberikan
Dexamethason : tidak mempunyai efek langsung pada otot polos saluran nafas, tetapi hanya untuk menurunkan jumlah dan aktivitas sel – sel yang terlibat dalam inflamasi saluran nafas. Golongan steroid anti inflamasi mengurangi inflamasi dengan menghilangkan, menghambat pelepasan leukotrien reaktivitas bronchial sangat berkurang.
Menurut DOI yaitu 0,4-0,6 mg / Kg BB di buat rata-rata: 0,5 mg / Kg BB, karenatidak ada data BB, misal diperkirakan Tn. J. 50 Kg:
Berarti : 50 Kg x 0,5 mg = 250 mg / hr, sedangkan dosis Tn. J : 3 x 2 ampul x 1 ampul = 5 mg
= 3 x 10 ampul
= 3 x 50 ampul = 300 mg / hr
Antibiotik yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi infeksi yang akan terjadi, karena pada kanker paru terjadi lesi pada lapisan pleura dan jaringan yang lain apabila sudah bermetastasis sehingga dapat terjadi hemoptisis. Dengan adanya hemoptisis sebagai indikasi perdarahan didalam tersebut dapat menyebabkan infeksi, dimana kanker paru dapat menyebar secara hematogen yang memungkinkan membawa agen virus atau bakteri. Tetapi pada pasien Tn. J nilai leukositnya masih normal : yaitu 4400 ( N : 4000-10000). Sehingga berdasarkan terapi rasional untuk sementara antibiotic belum perlu untuk diberikan.
5. Terapi cairan yang diberikan kepada Tn. J yaitu RL 12 tts/menit, lebih dimaksudkan sebagai cairan untuk transport obat yang diberikan. Biasanya pemberian aminophillin dalam bentuk drip. Tetapi dapat disaran untuk memberikan infuse dextrose 5% karena mengandung glukosa sebagai penambah energi, karena indikasi klien mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhan akan nutrisi dan cairan yang dapat disebabkan rasa tidak nyaman didada dan sesak nafas. Selain itu dari hasil analisa kelompok, perlu ditambahkan therapy O2 karena pada kasus Ca paru, kerja paru menurun sehingga produk O2 kuat untuk dibawa ke jantung dan disirkulasikan ke seluruh tubuh.
6. Pengaruh yang mungkin terjadi pada Tn. J pada status pernafasannya yang akan dilakukan Anesthesi General umum :
a. Apneu.
b. Arrest.
c. Hipotensi
d. Ancaman gagal nafas
Hal – hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tindakan post operasi yaitu :
a. Observasi tanda vital dan keadaan umum.
b. Posisi pasien ditempat tidur
c. Pantau drainage
d. Ventilasi dan reekspansi paru
e. Evaluasi mobilitas ekstremitas atas pada sisi yang dioperasi.
f. Pemantauan insisi terhadap perdarahan atau emfisema subkutan.
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN.
1. Kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada wanita maupun pria, yang sering kali di sebabkan oleh merokok.
2. Setiap tipe timbul pada tempat atau tipe jaringan yang khusus, menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda, dan perbedaan dalam kecendrungan metastasis dan prognosis.
3. Karena tidak ada penyembuhan dari kanker, penekanan utama adalah pada pencegahan misalnya dengan berhenti merokok karena perokok mempunyai peluang 10 kali lebih besar untuk mengalami kanker paru di bandingkan bukan perokok, dan menghindari lingkungan polusi.
4. Pengobatan pilihan dari kanker paru adalah tindakan bedah pengangkatan tumor. Sayangnya, sepertiga dari individu tidak dapat dioperasi ketika mereka pertama kali didiagnosa.
5. Asuhan keperawatan pascaoperasi klien setelah bedah toraks berpusat pada peningkatan ventilasi dan reekspansi paru dengan mempertahankan jalan nafas yang bersih, pemeliharaan sistem drainage tertutup, meningkatkan rasa nyaman dengan peredaran nyeri, meningkatkan masukan nutrisi, dan pemantauan insisi terhadap perdarahan dan emfisema subkutan.
B. SARAN.
1. Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Kanker Paru diperlukan pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat.
2. Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan kanker paru misalnya mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok, memperhatikan lingkungan kerja terkait dengan polusinya.
3. Dukungan psikologik sangat berguna untuk klien.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta
Long, Barbara C, (1996), Perawatan Medikal Bedah; Suatu Pendekatan Proses Holistik, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, Bandung.
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Underwood, J.C.E, (1999), Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, EGC, Jakarta.
Senin, 03 Mei 2010
Makalah ASKEP LEUKIMIA
Makalah Asuhan Keperawatan Leukimia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
<--more-->
II.1 Leukemia
II.1.1 Epidemologi
Insidensi Leukemia di Amerika adalah 13 per 100.000 penduduk /tahun ( Wilson, 1991 ) . Leukemia pada anak berkisar pada 3 – 4 kasus per 100.000 anak / tahun . Untuk insidensi ANLL di Amerika Serikat sekitar 3 per 200.000 penduduk pertahun. Sedang di Inggris, Jerman, dan Jepang berkisar 2 – 3 per 100.000 penduduk pertahun ( Rahayu, 1993, cit Nugroho, 1998 ) . Pada sebuah penelitian tentang leukemia di RSUD Dr. Soetomo/FK Unair selama bulan Agustus-Desember 1996 tercatat adalah 25 kasus leukemia akut dari 33 penderita leukemia. Dengan 10 orang menderita ALL ( 40% ) dan 15 orang menderita AML (60 %) ( Boediwarsono, 1998 ) .
II.1.2 Etiologi
Penyebab leukemia sampai sekarang belum jelas, tapi beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain :
1. Genetik
a. keturunan
a.1. Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) . Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy .
a.2 Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi ( Wiernik,1985 ) .
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .
2. Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata .
Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. ( Wiernik, 1985 ) . Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia . Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 1999 ) .
3. Bahan Kimia dan Obat-obatan
a. Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 )
Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik ( Fauci, et. al, 1998 ) .
4. Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II ) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML . Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ) .
5. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .
6. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia . Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .
II.1.4. Klasifikasi Leukemia Akut
Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia akut terbagi menjadi 2 ( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).
ALL sendiri terbagi menjadi 3, yakni :
- L1
Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak-anak.
- L2
Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.
- L3
Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk .
AML terbagi menjadi 8 tipe :
- Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal .
- M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1 .
- M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .
- M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini .
- M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.
- M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
- M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar .
- M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.
( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 )
II.1.5 Manifestasi Klinis leukemia Akut
Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah :AnemiaDemamPerdarahan , purpura, epistaksis ( sering ), hematoma, infeksi oropharingeal, pembesaran nodus limfatikus, lemah ( weakness ), faringitis, gejala mirip flu ( flu like syndrome ) yang merupakan manifestasi klinis awal, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, ikterus ( Cawson 1982; De Vita Jr.,1985, Archida, 1987; Lister, 1990; Rubin,1992 ) .
Manifestasi dalam mulut penderita leukemia akut akan dibahas pada II.2 .
II.1.6 Patogenesa Leukemia Akut
Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan . Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi . Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut . ( Cawson, 1982 )
II.1.7 Diagnosa Leukemia Akut
Penegakan diagnosa leukemia akut dilakukan dengan berdasarkan pada anamnesa , pemeriksaan klinis , pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang pada beberapa kasus . Pada pemeriksaan darah, sel darah putih menunjukkan adanya kenaikan jumlah, penurunan jumlah, maupun normal, pemeriksaan trombosit menunjukkan penurunan jumlah, pemeriksaan hemoglobin menunjukkan penurunan nilai ( De Vita Jr, 1993 ), pemeriksaan sel darah merah menunjukkan penurunan jumlah dan kelainan morfologi ( Cawson, 1982 ;De Vita Jr, 1993 ), adanya sel leukemik sejumlah 5 % cukup untuk mendiagnosa kelainan darah sebagai leukemia, tapi sering dipakai nilai yang mencapai 25 % atau lebih ( Altman J.A.,1988 cit De Vita Jr, 1993 ) . Pemeriksaan dengan pewarnaan Sudan Black, PAS, dan mieloperoksidase untuk pembedaan AML dan ALL, ( De Vita Jr, 1993 ; Boediwarsono, 1996 ; Yoshida, 1996 ) .
II.2 Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut
Kelainan rongga mulut disini adalah kelainan – kelainan yang timbul pada rongga mulut penderita leukemia akut, diantaranya adalah :
II.2.1. Pembengkakan gusi
Pembengkakan gusi berupa pembengkakan papila dan margin gusi. Pembengkakan ini terjadi akibat infiltrasi sel leukemik di dalam lapisan retikular mukosa mulut , di buktikan dari hasil biopsi dan FNAB mukosa rongga mulut ( Nugroho, 1991 ; Berkovitz 1995 ) . Mukosa mulut yang mengalami infiltrasi sel leukemik adalah mukosa yang sering mengalami trauma minor, misal mukosa sepanjang garis oklusi, palatum, lidah dan sudut mulut ( Rusliyanto, 1986; Glickman, 1958 cit Berkovitz 1995 ) . Gejala ini ditemukan pada 14,28 % penderita leukemia ( Archida, 1987 ) dan khas pada leukemia monositik dan mielomonositik akut ( Rusliyanto, 1980; Wiernik, 1985 ; Berkovitz, 1995 ) . Pembesaran gusi ini juga diduga diakibatkan oleh inflamasi kronis yang disebabkan oleh plak, berupa inflamasi karena gingivitis kronis derajat ringan yang juga ditemui pada gusi yang sehat secara klinis ( Widjaja, 1992; Moughal et al, 1991 cit Berkovitz 1995 ) .
II.2.2. Perdarahan
Perdarahan pada kasus leukemia bisa berupa petekie, ekimosis maupun perdarahan spontan ( Lister, 1990 ) . Sering terjadi pada kasus-kasus leukemia akut yang disertai penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit ( Widmann, 1995 ) . Trombosit merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk sumbat trombosit . Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup robekan pembuluh darah . Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah . Penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan ( Guyton, 1994; Ganiswara, 1995 ) . Perdarahan diakibatkan juga karena kerusakan pembuluh darah . Kerusakan pembuluh darah diakibatkan oleh rupturnya kapiler . Darah meningkatnya viskositasnya akibat adanya sel leukemik dengan konsentrasi tinggi . Kondisi ini menyebabkan tekanan intra kapiler darah meningkat . aliran darah yang seharusnya ke sisi bertekanan rendah terhalang karena infiltrasi sel leukemik yang membentuk emboli . Penghentian aliran darah dengan viskositas dan tekanan tinggi ini menyebabkan pembuluh darah kapiler ruptur ( Wiernik, 1985 ) . Kebersihan rongga mulut yang buruk, jaringan periodontal yang tidak sehat dan iritasi lokal diduga menjadi penyebab lain dari perdarahan rongga mulut ( Wezler, 1991; Nugroho 1998 ) . Kondisi lokal rongga mulut yang buruk, dapat menyebabkan keradangan dan berakibat mudah terjadi perdarahan .
II.2.3. Ulserasi
Ulserasi pada rongga mulut penderita leukemia akut diduga disebabkan karena adanya kegagalan mekanisme pertahanan tubuh . Neutrofil mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi . Pada kondisi ini trauma yang kecil pun dapat menyebabkan terjadinya ulser ( Rusliyanto, 1986 ) .
Jumlah sel leukemik yang banyak pada darah tepi dapat menyebabkan statis pembuluh darah kecil sehingga terjadi anemia ( Burket, 1940 cit Berkovitz , 1995, Sinrod, 1957 cit Berkovitz , 1995 ; Bodey, 1971 cit Berkovitz , 1995 ; Segelman dan Doku, 1977, cit Berkovitz , 1995 ) selanjutnya terjadi nekrosis dan ulkus ( Rusliyanto, 1986 ) .
II.2.4. Limfadenopati
limfadenopati berupa pembesaran kelenjar limfe, terjadi akibat adanya infiltrasi sel leukemik ke dalam kelenjar limfe ( Lister, 1990; Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995; ) dan juga diduga adalah limfadenitis reaktif sebagai proses pertahanan tubuh terhadap tubuh terhadap radang yang merupakan proses fisiologis tubuh ( Rubbins dan Khumar, 1992 ) . Menurut Guyton et. al. ( 1994 ) limfadenopati ini juga terjadi akibat adanya proses hematopoeisis ekstra medular pada nodus limfatikus . Hematopoesis yang pada usia dewasa seharusnya terjadi pada sumsum tulang, terganggu karena sel leukemik dari proses multiplikasi sel prekursor leukemik mempunyai masa hidup yang lebih lama, menginfiltasi sumsum tulang serta mendesak sel-sel normal . Pernyataan Guyton ini didukung oleh W.F. Ganong ( 1995 ) yang menyatakan bahwa hematopoesis ekstra medular dapat terjadi pada usia dewasa akibat adanya penyakit yang menyebabkan fibrosis atau kerusakan sumsum tulang . Pembesaran ini mampu mencapai ukuran sebesar telur ayam ( Pitojo S, 1992 ) .
II.2.5. Infeksi
Infeksi sangat sering terjadi pada penderita leukemia akut, baik infeksi jamur, bakteri maupun infeksi virus . Kondisi ini diakibatkan oleh kegagalan mekanisme pertahanan tubuh untuk menanggulangi infeksi . Pada penderita leukemia akut terjadi neutropenia ( Barret, 1986 ) dan neutrofil itu sendiri mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi ( Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995 ) . Infeksi jamur yang paling banyak dijumpai adalah infeksi jamur Candida Albicans yang mencapai 60 % pada penderita ALL ( Reskiasih, 2000 ) . Infeksi jamur kandida secara klinis dapat dijumpai berupa lesi putih maupun lesi merah . Lesi putih berupa warna yang lebih putih dari jaringan disekelilingnya, lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal yang ada di sekelilingnya . Lesi putih -ini bisa merupakan lesi yang keratotik atau non keratotik berdasarkan kemudahan diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut . Lesi yang sulit / tidak bisa diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari mengangkatnya ketebalan lapisan yang berkeratosis ( hiperkeratosis ) dan disebut lesi keratotik. Lesi yang mudah diangkat dan seringkali menimbulkan suatu daerah yang kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa berupa debris atau peradangan pada pseudomembranous mukosa mulut yang disebut lesi non keratotik. Lesi akibat infeksi jamur Kandida seringkali dikaitkan dengan keradangan pada pseudomembranous mukosa atau ikut berperan dalam etiologi lesi hiperkeratotik walaupun dapat berupa lesi putih yang disertai lesi hipokeratotik . Infeksi jamur yang lain dapat berupa angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis ( Brightment, 1993 ) . Infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia sangat sering terjadi . Dan satu-satunya tanda klinis yang biasa dijumpai adalah demam ( Wiernik; 1985 ) . Infeksi virus yang sering ditemui adalah infeksi Herpes Zoster yang mempunyai prosentase cukup tinggi yaitu 40 % pada penderita leukemia akut jenis AML dan 30 % leukemia akut jenis ALL ( Barret,1986 ) . Salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita leukemia akut yang mencapai 52,63 % ( Archida, 1987 ) .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
<--more-->
II.1 Leukemia
II.1.1 Epidemologi
Insidensi Leukemia di Amerika adalah 13 per 100.000 penduduk /tahun ( Wilson, 1991 ) . Leukemia pada anak berkisar pada 3 – 4 kasus per 100.000 anak / tahun . Untuk insidensi ANLL di Amerika Serikat sekitar 3 per 200.000 penduduk pertahun. Sedang di Inggris, Jerman, dan Jepang berkisar 2 – 3 per 100.000 penduduk pertahun ( Rahayu, 1993, cit Nugroho, 1998 ) . Pada sebuah penelitian tentang leukemia di RSUD Dr. Soetomo/FK Unair selama bulan Agustus-Desember 1996 tercatat adalah 25 kasus leukemia akut dari 33 penderita leukemia. Dengan 10 orang menderita ALL ( 40% ) dan 15 orang menderita AML (60 %) ( Boediwarsono, 1998 ) .
II.1.2 Etiologi
Penyebab leukemia sampai sekarang belum jelas, tapi beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain :
1. Genetik
a. keturunan
a.1. Adanya Penyimpangan Kromosom
Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) . Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy .
a.2 Saudara kandung
Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat tinggi ( Wiernik,1985 ) .
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .
2. Virus
Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata .
Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. ( Wiernik, 1985 ) . Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia . Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 1999 ) .
3. Bahan Kimia dan Obat-obatan
a. Bahan Kimia
Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 )
Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik ( Fauci, et. al, 1998 ) .
4. Obat-obatan
Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan inhibitor topoisomere II ) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML . Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang yang lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ) .
5. Radiasi
Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang terekspos radiasi dan para radiologis .
6. Leukemia Sekunder
Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia . Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .
II.1.4. Klasifikasi Leukemia Akut
Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia akut terbagi menjadi 2 ( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).
ALL sendiri terbagi menjadi 3, yakni :
- L1
Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak-anak.
- L2
Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.
- L3
Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa sel Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk .
AML terbagi menjadi 8 tipe :
- Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )
Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal .
- M1 ( Acute Myeloid Leukemia tanpa maturasi )
Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1 .
- M2 ( Akut Myeloid Leukemia )
Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % . Jumlah sel leukemik antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .
- M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )
Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini .
- M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )
Terlihat 2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.
Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4 mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.
- M5 ( Acute Monocytic Leukemia )
Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.
- M6 ( Erythroleukemia )
Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara nukleus dan sitoplasma . M6 disebut Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar .
- M7 ( Acute Megakaryocytic Leukemia )
Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.
( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 )
II.1.5 Manifestasi Klinis leukemia Akut
Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah :AnemiaDemamPerdarahan , purpura, epistaksis ( sering ), hematoma, infeksi oropharingeal, pembesaran nodus limfatikus, lemah ( weakness ), faringitis, gejala mirip flu ( flu like syndrome ) yang merupakan manifestasi klinis awal, splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, ikterus ( Cawson 1982; De Vita Jr.,1985, Archida, 1987; Lister, 1990; Rubin,1992 ) .
Manifestasi dalam mulut penderita leukemia akut akan dibahas pada II.2 .
II.1.6 Patogenesa Leukemia Akut
Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan . Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi . Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital seperti liver dan limpa oleh sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut . ( Cawson, 1982 )
II.1.7 Diagnosa Leukemia Akut
Penegakan diagnosa leukemia akut dilakukan dengan berdasarkan pada anamnesa , pemeriksaan klinis , pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang pada beberapa kasus . Pada pemeriksaan darah, sel darah putih menunjukkan adanya kenaikan jumlah, penurunan jumlah, maupun normal, pemeriksaan trombosit menunjukkan penurunan jumlah, pemeriksaan hemoglobin menunjukkan penurunan nilai ( De Vita Jr, 1993 ), pemeriksaan sel darah merah menunjukkan penurunan jumlah dan kelainan morfologi ( Cawson, 1982 ;De Vita Jr, 1993 ), adanya sel leukemik sejumlah 5 % cukup untuk mendiagnosa kelainan darah sebagai leukemia, tapi sering dipakai nilai yang mencapai 25 % atau lebih ( Altman J.A.,1988 cit De Vita Jr, 1993 ) . Pemeriksaan dengan pewarnaan Sudan Black, PAS, dan mieloperoksidase untuk pembedaan AML dan ALL, ( De Vita Jr, 1993 ; Boediwarsono, 1996 ; Yoshida, 1996 ) .
II.2 Kelainan Rongga Mulut Yang Berhubungan Dengan Leukemia Akut
Kelainan rongga mulut disini adalah kelainan – kelainan yang timbul pada rongga mulut penderita leukemia akut, diantaranya adalah :
II.2.1. Pembengkakan gusi
Pembengkakan gusi berupa pembengkakan papila dan margin gusi. Pembengkakan ini terjadi akibat infiltrasi sel leukemik di dalam lapisan retikular mukosa mulut , di buktikan dari hasil biopsi dan FNAB mukosa rongga mulut ( Nugroho, 1991 ; Berkovitz 1995 ) . Mukosa mulut yang mengalami infiltrasi sel leukemik adalah mukosa yang sering mengalami trauma minor, misal mukosa sepanjang garis oklusi, palatum, lidah dan sudut mulut ( Rusliyanto, 1986; Glickman, 1958 cit Berkovitz 1995 ) . Gejala ini ditemukan pada 14,28 % penderita leukemia ( Archida, 1987 ) dan khas pada leukemia monositik dan mielomonositik akut ( Rusliyanto, 1980; Wiernik, 1985 ; Berkovitz, 1995 ) . Pembesaran gusi ini juga diduga diakibatkan oleh inflamasi kronis yang disebabkan oleh plak, berupa inflamasi karena gingivitis kronis derajat ringan yang juga ditemui pada gusi yang sehat secara klinis ( Widjaja, 1992; Moughal et al, 1991 cit Berkovitz 1995 ) .
II.2.2. Perdarahan
Perdarahan pada kasus leukemia bisa berupa petekie, ekimosis maupun perdarahan spontan ( Lister, 1990 ) . Sering terjadi pada kasus-kasus leukemia akut yang disertai penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit ( Widmann, 1995 ) . Trombosit merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk sumbat trombosit . Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup robekan pembuluh darah . Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah . Penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan ( Guyton, 1994; Ganiswara, 1995 ) . Perdarahan diakibatkan juga karena kerusakan pembuluh darah . Kerusakan pembuluh darah diakibatkan oleh rupturnya kapiler . Darah meningkatnya viskositasnya akibat adanya sel leukemik dengan konsentrasi tinggi . Kondisi ini menyebabkan tekanan intra kapiler darah meningkat . aliran darah yang seharusnya ke sisi bertekanan rendah terhalang karena infiltrasi sel leukemik yang membentuk emboli . Penghentian aliran darah dengan viskositas dan tekanan tinggi ini menyebabkan pembuluh darah kapiler ruptur ( Wiernik, 1985 ) . Kebersihan rongga mulut yang buruk, jaringan periodontal yang tidak sehat dan iritasi lokal diduga menjadi penyebab lain dari perdarahan rongga mulut ( Wezler, 1991; Nugroho 1998 ) . Kondisi lokal rongga mulut yang buruk, dapat menyebabkan keradangan dan berakibat mudah terjadi perdarahan .
II.2.3. Ulserasi
Ulserasi pada rongga mulut penderita leukemia akut diduga disebabkan karena adanya kegagalan mekanisme pertahanan tubuh . Neutrofil mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi . Pada kondisi ini trauma yang kecil pun dapat menyebabkan terjadinya ulser ( Rusliyanto, 1986 ) .
Jumlah sel leukemik yang banyak pada darah tepi dapat menyebabkan statis pembuluh darah kecil sehingga terjadi anemia ( Burket, 1940 cit Berkovitz , 1995, Sinrod, 1957 cit Berkovitz , 1995 ; Bodey, 1971 cit Berkovitz , 1995 ; Segelman dan Doku, 1977, cit Berkovitz , 1995 ) selanjutnya terjadi nekrosis dan ulkus ( Rusliyanto, 1986 ) .
II.2.4. Limfadenopati
limfadenopati berupa pembesaran kelenjar limfe, terjadi akibat adanya infiltrasi sel leukemik ke dalam kelenjar limfe ( Lister, 1990; Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995; ) dan juga diduga adalah limfadenitis reaktif sebagai proses pertahanan tubuh terhadap tubuh terhadap radang yang merupakan proses fisiologis tubuh ( Rubbins dan Khumar, 1992 ) . Menurut Guyton et. al. ( 1994 ) limfadenopati ini juga terjadi akibat adanya proses hematopoeisis ekstra medular pada nodus limfatikus . Hematopoesis yang pada usia dewasa seharusnya terjadi pada sumsum tulang, terganggu karena sel leukemik dari proses multiplikasi sel prekursor leukemik mempunyai masa hidup yang lebih lama, menginfiltasi sumsum tulang serta mendesak sel-sel normal . Pernyataan Guyton ini didukung oleh W.F. Ganong ( 1995 ) yang menyatakan bahwa hematopoesis ekstra medular dapat terjadi pada usia dewasa akibat adanya penyakit yang menyebabkan fibrosis atau kerusakan sumsum tulang . Pembesaran ini mampu mencapai ukuran sebesar telur ayam ( Pitojo S, 1992 ) .
II.2.5. Infeksi
Infeksi sangat sering terjadi pada penderita leukemia akut, baik infeksi jamur, bakteri maupun infeksi virus . Kondisi ini diakibatkan oleh kegagalan mekanisme pertahanan tubuh untuk menanggulangi infeksi . Pada penderita leukemia akut terjadi neutropenia ( Barret, 1986 ) dan neutrofil itu sendiri mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi ( Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995 ) . Infeksi jamur yang paling banyak dijumpai adalah infeksi jamur Candida Albicans yang mencapai 60 % pada penderita ALL ( Reskiasih, 2000 ) . Infeksi jamur kandida secara klinis dapat dijumpai berupa lesi putih maupun lesi merah . Lesi putih berupa warna yang lebih putih dari jaringan disekelilingnya, lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal yang ada di sekelilingnya . Lesi putih -ini bisa merupakan lesi yang keratotik atau non keratotik berdasarkan kemudahan diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut . Lesi yang sulit / tidak bisa diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut dianggap sudah melibatkan penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat dari mengangkatnya ketebalan lapisan yang berkeratosis ( hiperkeratosis ) dan disebut lesi keratotik. Lesi yang mudah diangkat dan seringkali menimbulkan suatu daerah yang kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa berupa debris atau peradangan pada pseudomembranous mukosa mulut yang disebut lesi non keratotik. Lesi akibat infeksi jamur Kandida seringkali dikaitkan dengan keradangan pada pseudomembranous mukosa atau ikut berperan dalam etiologi lesi hiperkeratotik walaupun dapat berupa lesi putih yang disertai lesi hipokeratotik . Infeksi jamur yang lain dapat berupa angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis ( Brightment, 1993 ) . Infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia sangat sering terjadi . Dan satu-satunya tanda klinis yang biasa dijumpai adalah demam ( Wiernik; 1985 ) . Infeksi virus yang sering ditemui adalah infeksi Herpes Zoster yang mempunyai prosentase cukup tinggi yaitu 40 % pada penderita leukemia akut jenis AML dan 30 % leukemia akut jenis ALL ( Barret,1986 ) . Salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita leukemia akut yang mencapai 52,63 % ( Archida, 1987 ) .
Senin, 19 April 2010
Asuhan Keperawatan ( Gerontik saat ini )
Puja dan puji syukur kami panjatkan atas ridho dan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmatnya kami selaku kelompok IIV dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah keperawatan gerontik dengan judul “GERONTIK SAAT INI”.
Dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini penyusun telah banyak mendapat pengarahan, bimbingan dan bantuan dari segala pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penyusun menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. H. Soekardjoe . MM . MBA selaku ketua STIKES Banyuwangi
2. Ibu Indah Christiana, SST selaku dosen pengajar mata kuliah ”Keperawatan Gerontik” .
3. Teman – teman satu kelompok yang telah meluangkan ide dan waktunya dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
4. Rekan – rekan mahasiswa tingkat II A yang telah banyak membantu memberikan dukungan dan semangat sehingga tugas makalah ini selesai.
Penyusun menyadari dengan selesainya tugas makalah ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharap adanya ide, kritik dan saran yang membangun sehingga makalah ini semakin bermanfaat bagi semua. Amin…..
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lansia atau Lanjut Usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi, dan aspek social. Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsic dan bersifat irreversible serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Prosen alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis, maupun social akan saling berinteraksi satu sama lain proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu kelemahan, keterbatasan fungsional, ketidakmampuan dan keterhambatan yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.
Data statistic mengisyaratkan pentingnya pengembangan keperawatan gerontik di Indonesia. Walaupun secara histories, jauh sebelum keperawatan gerontik berkembang menjadi sebuah spesialisasi pada dasarnya keperawatan memiliki peran yang besar terhadap pemberian pelayanan keperawatan bagi lansia.
Focus asuhan keperawatan pada lansia ditujukan pada dua kelompok lansia yaitu Focus asuhan keperawatan pada lansia ditujukan pada dua kelompok lansia yaitu (1) lansia yang sehat dan produktif dan (2) lansia yang memiliki kerentanan tubuh dan ditandai dengan kondisi fisik yang memulai melemah, sakit – sakitan dan daya pikir menurun. Pemberian asuhan keperawatan bagi kedua kelompok tersebut bertujuan untuk memenuhi harapan – harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan produktif dalam tiga dimensi yaitu fisik, fungsional dan kognitif. Berbagai penelitian melaporkan bahwa peningkatan kualitas ketiga dimensi tersebut dapat meningkatkan harapan hidup lansia yang lebih sehat.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penyusun membatasi masalah tentang pengertian lansia. Kebutuhan hidup orang lanjut usia, lansia masa kini dan langkah – langkah penanganan lansia.
1.3 tujuan
1. Tujuan umum
Merupakan bentuk tanggung jawab sebagai perawat dalam melaksanakan tugas pelayanan keperawatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan. Mencegah terjadinya penyakit dan menghilangkan penderitaan serta memulihkan kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat.
2. Tujuan khusus
Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat. Sebagai acuan dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya pada orang tua. Memudahkan perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada orang tua. Dan sebagai pedoman bagi perawat untuk mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas keperawatan kepada orang tua.
1.4 Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini diperoleh data – data dari berbagai sumber melalui literatur dari buku – buku dan media internal.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
- Latar belakang
- Rumusan masalah
- Tujuan
- Metode penulisan
- Sistematika penulisan
BAB II PEMBAHASAN
- Pengertian lansia
- Lansia masa kini dan mendatang
1. Keadaan lansia di indonesia
2. Lansia masa kini
3. Kesejahteraan rakyat
4. Lansia dan reformasi birokrasi
- Langkah – langkah penanganan lansia
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan
- Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN
Lanjut usia (lansia) menurut undang – undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun ke atas.
Menurut undang – undang No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, Lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas.
PENDAHULUAN
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat dari angka harapan hidup (AHH) yaitu:
AHH di Indonesia Tahun 1971 46,6 tahun
Tahun 1999 67,5 tahun
Populasi Lansia akan meningkat juga yaitu:
o Pada tahun 1990 penduduk 60 tahun ± 10 juta jiwa / 5,5 dari total populasi penduduk
o Pada tahun 2020 diperkirakan meningkat 3x, menjadi ± 29 juta jiwa / 11,4 % dari total populasi penduduk
(Lembaga Demografi FE-UI-1993)
Selanjutnya :
Terdapat hasil yang mengejutkan yaitu:
o 62,3 % lansia di Indonesia masih berpenghasilan dari pekerjaannya sendiri.
o 59,4 % dari lansia masih berperan sebagai kepala keluarga.
o 53 % lansia masih menanggung beban kehidupan keluarga.
o Hanya 27,5 % lansia mendapat penghasilan dari anak/menantu.
DepKes RI membagi lansia sbb:
1. Kel. Menjelang Usia lanjut (45-54 th) sebagai masa vibrilitas
2. Kel. Usia Lanjut (55-64 th) sebagai presenium
3. Kel. Usia Lanjut (65 th ke atas) sebagai masa senium
Sedangkan WHO Lansia di bagi menjadi 3 kategori yaitu:
1. Usia lanjut 60-70 tahun
2. Usia tua 75-89 tahun
3. Usia sangat lanjut > 90 tahun
2. LANSIA MASA KINI DAN MENDATANG
Deputi I Menkokesra
Kemajuan di bidang kesehatan, meningkatnya sosial ekonomi masyarakat dan semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat yang bermuara dengan meningkatnya pada kesejahteraan rakyat akan meningkatkan usia harapan hidup sehingga menyebabkan jumlah penduduk Lanjut Usia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Jika pemerintah dan berbagai program pembangunan tidak mengantisipasi keadaan ini maka keberadaan Lanjut Usia akan menjadi bom waktu.
a. Keadaan Lansia di Indonesia
Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging struktured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18 %. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk Lanjut Usia (lansia) nya sebanyak 7 % adalah pulau jawa dan bali. Peningkatan jumlah penduduk lansia ini antara lain disebabkan karena :
1. tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat
2. kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan
3. tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat
Jumlah penduduk lansia di Indonesia
Tahun Usia Harapan Hidup Jumlah Penduduk Lansia %
1980 52,2 tahun 7.998.543 5,45
1990 59,8 tahun 11.277.557 6,29
2000 64,5 tahun 14.439.967 7,18
2006 66,2 tahun +19 juta 8,90
2010 (prakiraan) 67,4 tahun +23,9 juta 9,77
2020 (prakiraan) 71,1 tahun +28,8 juta 11,34
Jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19 juta, usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 deperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77 %), usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34 %), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Dari jumlah tersebut, pada tahun 2010, jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58 %) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97 %). Terdapat perbedaan yang cukup besar antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di pedesaan. Perbedaan ini bisa jadi karena antara lain lansia yang tadinya berasal dari desa lebih memilih kembali ke desa di hari tuanya, dan mungkin juga bisa jadi karena penduduk pedesaan usia harapan hidupnya lebih besar karena tidak menghirup udara yang sudah berpolusi, tidak sering menghadapi hal-hal yang membuat mereka stress, lebih banyak tenteramnya ketimbang hari-hari tiada stress atau juga bisa jadi karena makanan yang dikonsumsi tidak terkontaminasi dengan pestisida sehingga membuat mereka tidak mudah terserang penyakit sehingga berumur panjang.
Namun jika dilihat pada tahun 2020 walaupun jumlah lansia tetap mengalami kenaikan yaitu sebesar 28.822.879 (11,34 %), ternyata jumlah lansia yang tinggal di perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20 %) dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan yaitu sebesar 13.107.927 (11,51 %).
Kecenderungan meningkatnya lansia yang tinggal di perkotaan ini bisa jadi desebabkan bahwa tidak banyak perbedaan antara rural dan urban. Karena pemusatan penduduk di suatu wilayah dapat menyebabkan dan membentuk wilayah urban. Suatu contoh bahwa untuk membedakan wilayah rural dan urban di antara kota jakarta dan bekasi atau antara surabaya dengan sidoarjo serta kota –kota lainnya kelihatan nya semakin tidak jelas. Oleh karena itu benarlah kata orang bahwa pantura adalah kota terpanjang di dunia, tidak jelas perbatasan antara satu kota dengan kota lainnya.
Alasan lain mengapa pada tahun 2020 ada kecenderungan jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan menjadi lebih baik banyak karena para remaja yang saat ini sudah banyak mengarah menuju kota, mereka itu nantinya sudah tidak tertarik kembali ke desa lagi, karena saudara, keluarga dan bahkan teman-teman tidak banyak lagi yang berada di desa. Sumber penghidupan dari pertanian sudah kurang menarik lagi bagi mereka, hal ini juga karena pada umumnya tidak mempunyai lahan pertanian untuk digarap sebagai sumber penghidupan keluarganya.
Selain itu bahwa di masa depan sektor jasa mempunyai peran yang penting sebagai sumber penghidupan. Oleh karenan itu suatu negara yang tidak mempunyai sumber daya alam yang cukup maka di era globalisasi akan beralih kepada sektor jasa sebagai sumber penghasilannya, contoh negara singapura. Pada hal sektor jasa dapat berjalan dan hidup hanya di daerah perkotaan.
b. Lansia masa kini dan mendatang
Usia harapan hidup (UHH) tertinggi laki-laki adalah DKI Jakarta dan DIY, sedangkan terendah di Jawa Barat, sedangkan UHH perempuan tertinggi adalah DKI Jakarta dan terendah di Jawa Barat. Sedangkan jumlah penduduk lansia tertinggi dan terendah baik laki-laki maupun perempuan adalah di Jawa Timur (tertinggi) dan Bali (terendah) proses kematian lansia di perkotaan disebabkan penuaan , sedangkan di perdesaan lebih banyak disebabkan oleh penyakit infeksi.
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan, diupayakan agar lansia dapat melaksanakan fungsi sosialnya serta berperan aktif dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu lansia mempunyai kewajiban, antara lain :
1. Memberikan bimbingan dan nasehat yang didasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan kearifannya.
2. Mentransformasikan dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya, dan
3. Memberikan keteladanan
Hanya saja apakah dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban itu ada suatu forum yang dapat memfasilitasi ataukan hanya sebatas pada lingkungannya saja ?
c. Kesejahteraan rakyat
Pembangunan Manusia Indonesia sebagai suatu paradigma baru dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia diharapkan dapat membuat pilihan-pilihan penting, antara lain berumur panjang dan sehat, menguasai ilmu pengetahuan, mempunyai akses terhadap sumber daya yang di butuhkan agar dapat hidup layak sehingga dapat memberikan keseimbangan dalam hidupnya. Sedangkan muara dari Pembangunan Manusia Indonesi adalah meningkatnya kesejahteraan rakya.
Oleh karena itu terdapat korelasi antara meningkatnya jumlah lansia dari tahun ke tahun dengan keberhasilan dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Kemajuan pengetahuan di bidang kesehatan, meningkatnya sosial ekonomi masyarakat akan membawa dampak terhadap meningkatnya usia harapan hiduup. Dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut seharusnya diantisipasi baik oleh pemerintah, kalangan usaha dan masyarakat sipil. Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil pemerintah, partisipasi kalangan usahawan, dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi semakin meningkatnya jumlah lansia di indonesia.
Dari sisi pemerintah, antara lain harus disiapkan sarana umum agar lansia dapat mengakses pelayanan umum yang diberikan, bagi masyarakat pengusaha perlu ditingkatkan partisipasinya dalam bentuk dukungan seperti penyediaan tempat hunian lansia yang representatif (tidak gratisan) profesional, sedangkan dari anggota masyarakat adalah kesiapan secara fisik dan mental agar menjadi mampu dan terampil dalam merawat serta menyiapkan fisik dan mental seluruh keluarga dan anak-anaknya untuk menjadi pendamping setia bagi nenek dan kakek atau bahkan orang tuanya sendiri.
Yang perlu diperhitungkan adalah karena kemajuan di bidang kesehatan dan semakin meningkatkan penghasilan dan gizi masyarakat, maka dapat di pastikan akan semakin menambah jumlah lansia yang masih tetap sehat, tidak mau tergantung kepada anak cucunya, dan sebagian besar masih mempunyai potensi untuk tetap produktif. Oleh karena itu, maka perlu dipikirkan tentang antisipasi kebijakan-kebijakannya oleh pemerintah. Misalnya seperti di negara-negara Eropa bahwa usia pensiun meningkat menjadi 65 tahun. Mungkinkah di Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat deterapkan hal tersebut ? Tentu saja harus diseleksi secara ketat, tidak hanya semata-mata dilihat dari segi usianya, tapi produktivitasnya.
d. Lansia dan reformasi birokrasi
Bagian Ketiga
Indonesia jagonya mengeluarkan undang-undang
Kalau soal banding membanding lagi-lagi kita selalu yang berada di bawah. Misalnya soal Human Development Index (HDI), negara yang baru muncul saja seperti Vietnam sudah berada di atas indonesia. Lantas bagaimana soal fasilitas terhadap penduduk lanjut usia (Lansia) ?
Peraturan perundang-perundangan sudah segudang diterbitkan mulai yang mengatur tentang Kesehatan (UU 23/1992), mengatur tentang Kesejahteraan Lansia (UU 13/1998), mengatur Hak Azasi Manusia (UU 39/1999), dan yang mengatur tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004). Namun sejauh mana berbagai peraturan tersebut menyentuh soal Lansia ?
Banyak instansi terkait yang seharusnya secara khusus mengimplementasikan dalam bentuk peraturan pelaksanaan sesuai dengan tugas dan fungsi yang melekat dan menjadi tanggung jawab instansinya. Misalnya DepartemenPerhubungan yang dapat memerikan fasilitas bagi lansia untuk potongan harga pembayaran tiker pesawat terbang, kereta api, bus umum. Pemberian fasilitas ini dulu pernah diberikan untuk tiket pesawat (namun sekarang tidak ada lagi). Mungkinkah dilakukan pengaturan untuk pemotongan harga atau jika memungkinkan gratis untuk biaya transportasi umum dalam kota bagi lansia ?
Bangsa Indonesia memang pintar membuat slogan-slogan, tetapi pada kenyataannya masih jauh dari harapan dan kenyataan. Misalnya ”Bangsa yang besar adalah yang menghormati para pahlawannya”, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, sopan, santun,berbudaya, dermawan dan entah sebutan apalagi. Mari kita bertanya pada diri sendiri, mana bukti pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selalu yang dijadikan alasan adalah payung hukumnya, namun jika mengamati secara jeli maka terdapat tumpang tindih dan ketidaksinkronan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya dan bahkan setelah deterbitkannya peraturan perundangannya, peraturan pelaksanaannya tidak atau belum terbit setelah sekian lama, sebagai contoh adalah pelaksanaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Perbandingan mengetahui tentang pelaksanaan kesejahteraan lansia di negara Ginseng, Korea Selatan, beberapa anggota Komnas Lansia melakukan studi banding.
Kegiatan studi banding ini bertujuan mendapatkan sebanyak mungkin masukan dan bahan banding yang berkaitan dengan kebijakan, kelembagaan dan komisi yang berperan dalam penanganan lansia.
Kebijakan tentang penanganan Lansia sudah sama-sama dipayungi dengan hukum baik di pemerintahan Korea Selatan maupun di Indonesia. Di Korea Selatan aplikasi kebijakan dapat dilihat dengan adanya pemberian fasilitas gratis bagi lansia, jika yang bersangkutan naik public transportation (bus dan subway). Di kedua fasilitas umum tersebut disediakan tempat khusus bagi lansia. Hal ini memungkinkan karena jumlah bus umum dan subway cukup banyak sehingga penumpangnya tidak berjubel seperti di Indonesia.
Lain kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan kalau di Indonesia seperti Panti Sosialnya. Suatu panti sosial ”Senior Welfare Centre” di Kota Seoul sehari-harinya menampung sekitar 3.000 Lansia, dan dapat memberi makan gratis bagi 2.000 orang Lansia. Dalam Senior Welfare Centre tersebut dilengkapi dengan fasilitas olahraga, ruang untuk menonton televisi, perpustakaan, pelayanan kesehatan, ruang untuk belajar musik, menyanyi, melukis, komputer, dan ruang makan.
Dan tidak kalah pentingnya adalah ruang untuk mencari pekerjaan. Para Lansia di Korea Selatan setelah pensiun masih dapat dicarikan pekerjaan sesuai dengan bakat masing-masing. Luar biasa.
Mungkinkah di Indonesia diberlakukan hak gratis bagi Lansia ?
Perbedaan mendasar yang dilihat adalah sifat, karakter dan kemauan yang kuat bagi masyarakat Korea Selatan yaitu sifat sopan, menghormati seniornya, orang tua, disiplin tinggi, yang di Indonesia sulit dijumpai sifat-sifat seperti itu.
Apapun yang terjadi seharusnya kita sudah dapat memulainya, karena payung hukum untuk itu sudah ada. Untuk itu pula perlu komitmen yang tinggi antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil untuk memulai, misalnya melakukan pemberdayaan terhadap Panti Sosial yang dimiliki pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Kelembagaan dan sumber dana
Apabila dilihat kelembagaan yang ada di Indonesia, sebenarnya sudah tepat Departemen Sosial yang melakukan pengelolaannya, namun dengan berlakunya otonomi daerah pelaksanaannya bisa jadi agak ruyam, karena belum tentu pemerintah daerah menaruh perhatian yang besar terhadap kesejahteraan Lansia.
Setidak-tidaknya pemerintah pusat (departemen sosial bersama komnas Lansia) bekerja sama dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk membuat pilit project di salah satu wilayah Jakarta atau kelima wilayah Jakarta. Mengapa di Jakarta, dengan alasan dapat lebih mudah dan cepat unsur pemerintah pusat memonitor perkembangannya.
Mengenai sumer dana yang dapat digunakan selain dari pemerintah adalah menggunakan dana pensiun yang ada pada Taspen, Asabari, Jamsostek dan Askes Keputusan ini tidak mudah untuk disepakati, namun peluang untuk itu ada, oleh karena itu pembahasan bersama dengan berbagai pihak perlu dilakukan dengan segera. Siapa pemrakarsanya. Kepala Negara berdasarkan masukan dari Menko Kesra dan Menteri Sosial.
Reformasi birokrasi
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian kedua dari tulisan ini bahwa jika usia harapan hidup penduduk semakin meningkat, maka ada kecenderungan jumlah penduduk lansia setiap tahunnya akan meningkat jumlahnya. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia sekitar 23,9 juta jiwa (9,77 % dari jumlah penduduk Indonesi).
Suatu pemikiran berkaitan dengan reformasi birokrasi, kalau di Korea Selatan, penduduk lansia masih dicarikan pekerjaan, mungkinkah dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk lansia usai pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil ditingkatkan ?. Dasar pemikirannya adalah bahwa banyak tenaga lansia yang masih produktif sementara para juniornya belum terlalu siap untuk menggantikan tugas dan fungsi yang selama ini diemban oleh lansia.
Pelaksanaan terhadap pemikiran ini tidaklah berlaku untuk semua, untuk itu perlu ditentukan sejumlah kriteria dan persyaratan jika kebijakan ini diterapkan, misalnya masih produktif, tidak sakit-sakitan. Untuk itu masa kerjanya dapat dilakukan melalui suatu kontrak kerja yang dapat diperpanjang setiap tahunnya.
Sebenarnya masih banyak reformasi birokrasi yang dapat dilakukan bagi Pegawai Negeri Sipil misalnya tentang penilaian pekerjaan yang tidak mempunyai makna perlu diubah sesuai dengan kenyataan, kepangkatan dan golongan untuk menduduki suatu jabatan, karena pangkat tidak pula menunjukkan terhadap kemampuan seseorang, pangkat lebih banyak berkaitan dengan masa kerja seseorang. Sedangkan pendidikan dustru yang harus ditingkatkan, penerimaan calon pegawai negeri sipil persyaratan minimalnya adalah bagi yang mempunyai Strata 1 (S1). Oleh karena itu kalau ingin dilakukan perubahan adalah hal-hal yang bersifat internal terlebih dahulu sebagaimana tersebut diatas yang pantas untuk derefom.
3. LANGKAH – LANGKAH PENANGANAN LANSIA
Meningkatnya usia harapan hidup masyarakt indonesia saat ini membuat jumlah penduduk yang tergolong lanjut usia (lansia) semakin meningkat. Ini menimbulkan permasalahan tersendiri yang menyangkut aspek kesehatan dan kesejahteraan mereka. Banyak lansia yang tingkat kesejahteraannya memprihatinkan dan mendapat perlakuan tidak semestinya dari lingkungan.
Meningkatnya jumlah lansia akibat meningkatnya usia harapan hidup erdampak pada permasalahan lansia yang semakin kompleks. Jumlah lansia saat ini, sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), adalah 14.439.967 orang atau 7,18 persen dengan usia harapan hidup 64,5 tahun.
Pada 2010 jumlah lansia diprediksi naik menjadi 9,58 persen dengan usia harapan hidup 67,4 tahun. Dan pada 2020 angka itu meningkat menjadi 11,20 persen dengan harapan hidup 70,1 tahun.
”Dari jumlah lansia sebanyak itu, sekitar tiga juta orang mengalami ketelantaran dan 11.696 mengalami tindak kekerasan dan perlakuan salah. Perhatian nasional dan internasional terhadap permasalahan lansia cukup serius. Ini diwujudkan dengan ditetapkannya UU Nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia dan PP nomor 43 tahun 2004 tentang upaya pelaksanaan kesejahteraan sosial lanjut usia.
Sebagai implementasi komitmen nasional, regional, dan internasional, Depsos bekerja sama dengan instansi terkait, perguruan tinggi, dan organisasi sosial, telah merancang aksi nasional lanjut usia dan pembentukan komisi nasional lanjut usia lewat Kepres Nomor 52 tahun 2004.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang lansia ini. Yaitu perlu peningkatan program dan aksi nasional untuk mendorong partisipsi lansia dalam masyarakat dan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan. Dengan demikian lansia bukan hanya objek tapi juga subjek pembangunan.
Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah peningkatan upaya membentuk sistem perlindungan dan keamanan sosial bagi lansia, pemberian jaminan sosial bagi lansia yang terlantar, cacat dan miskin serta perluasan akses dan kemudahan layanan kesehatan bagi lansia dalam sistem kesehatan nasional. Juga advokasi pencegahan terhadap tindakan yang salah.
Salah satu kebijakan pemerintah adalah memperkuat peran serta dan dukungan masyarakat serta dunia usaha terhadap lansia melalui pengembangan dan pemberdayaan lembaga dan organisasi sosial dan dunia usaha. Media atau pers juga punya potensi besat terhadap program peningkatan kesejahteraaan dan perlindungan lansia dari perlakuan salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar